Siang hari ada sebuah email menyelinap ke inbox gmail saya. Dari seseorang tak dikenal. Tapi dia kemudian memperkenalkan diri bahwa dia pernah mengikuti kuliah saya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, beberapa bulan lalu.
Ini adalah pertama kalinya dia berkirim email, dan langsung tanpa sungkan mengungkapkan kegundahan hatinya atas pekerjaan yang sedang dijalaninya. Dia bingung, haruskah melanjutkan proses magang yang sedang dilakukannya di sebuah koran lokal itu apakah keluar. Saya tak mengenal secara personal tentunya, dan hanya berusaha memahami masalah yang sedang dihadapinya hanya dari rentetan kalimat yang melompat-lompat itu. Apalagi ditulis dengan gaya bahasa anak muda yang penuh dengan ejaan yang buat saya sungguh ajaib. Sungguh tak teratur dan amburadul.
Ditengah kesibukan mengedit tulisan dan foto, entah kenapa saya tergerak untuk langsung membalas email itu. Biasanya beberapa email sejenis sering saya tunda untuk membalasnya, menunggu suasana benar-benar santai dan saya bisa berpikir jernih. Memang sejak saya mengisi kuliah di beberapa kelas itu, saya jadi sering menerima emai dari mereka yang pernah mengikuti kuliah saya. Isinya berbagai pertanyaan khas anak muda yang sedang bingung mencari jati diri.
Tadi, langsung saya sisihkan waktu sekitar 15 menit. Saya fokuskan pikiran saya untuk berusaha memahami dan kemudian merumuskan beberapa alternatif solusi. Saya tidak membuatkannya sebuah keputusan. Saya hanya mengarahkannya untuk mencari hal yang paling mendasar dari masalah yang dihadapinya. Apa sih yang dia mau ? Mau sekolah lagi, mau kerja di media, atau mau apa ? Selama kita bingung apa yang dimaui, mau kemana kapal kehidupan ini diarahkan, jangan harap kita bisa memutuskan dengan benar. Saya berusaha menulis dengan bahasa yang mudah dicerna dan analogi-analogi sederhana.
Saya pernah ada di posisi perempuan muda di usia pertengahan 20an yang bingung mau apa. Karena itu saya rasanya senang sekali diberi kesempatan untuk bisa berbagi dengan seseorang yang sedang membutuhkan bantuan pemikiran. Saya harap 15 menit waktu yang saya luangkan untuk menuliskan pengalaman yang pernah saya lewati, bisa membuat seseorang menempuh jalan yang lebih baik daripada saya. Tak harus tersesat dan jungkir balik gak karuan dulu untuk kemudian menemukan tujuan hidup.
Saya beruntung dikelilingi oleh guru-guru kehidupan yang tak lelah berbagi ilmu dan pengalaman. Sekarang saatnya saya untuk turut berbagi dengan siapapun yang mungkin tak seberuntung saya mendapatkan kesempatan berguru langsung pada para pejalan sunyi itu.
Tadi sore, Sang Malaikat, salah satu maha guru saya, meluangkan waktunya untuk turun ke bumi dan menemani saya ngopi. Berdiskusi masalah pekerjaan dan tanggung jawab baru yang saya emban, mereview langkah-langkah yang telah saya ayun, dan mengingat kembali nilai-nilai kehidupan sebagai pedoman perjalanan kami. Satu jam kuliah kehidupan ditemani sepiring french fries dan moccachino sungguh menyegarkan hati. Sang Malaikat mengingatkan saya akan pentingnya bernafas dengan benar dan dahsyatnya efek dari pemikiran yang positif. Malaikat tercinta itu juga mengapreasiasi kemajuan yang telah saya capai, yang berulangkali dilakukannya. ” Kalau aku jadi kamu mungkin aku juga gak kuat Nden. Dan aku salut sama kamu bisa melalui semuanya. You’re damn good” begitu katanya suatu kali.
Tak lupa saya juga mengucapkan selamat atas keberhasilan-keberhasilan yang baru diraihnya di dunia professional dan personal. Saya turut bahagia atas semua pencapaiannya. Rasa tulus menghangatkan hati, mengingat jalan panjang yang telah kami lalui. Kami tumbuh bersama dan secara dekat selalu saling mengingatkan untuk selalu berada di jalur yang benar. Sang Malaikat menatap saya dengan sorot mata bahagia, ketika saya berkisah bahwa saya sudah bisa merasakan senangnya bisa berbagi. Meski hanya serangkaian kalimat yang mudah-mudahan bisa memberikan sedikit cahaya terang di tengah jalan yang buntu.
“I did what you’ve been doing to me all these time, and I’m happy for having a chance doing that ”
“Memberi itu selalu memberi kebahagiaan ketika dilakukan dengan tulus, tanpa berpikir sudah berapa banyak yang telah diberikan,” ujarnya.